Senin, 02 Agustus 2010

Banjarmasin



Setelah cerita horor itu, cerita horor nan lucu, kami semua terbang menuju Kalimantan. Yang ada dalam benak saya hanyalah, andaikan saya punya satu hari kosong disana, tolong bawa saya ke karantina orang utan.


Pagi ini saya dijemput oleh taksi. Saya bawa Narji, seperti biasa di tiap-tiap kota. Dia dengan setia bawakan semua barang-barang saya. Ayo Narji...masih ada empat kota lagi yang harus kita tempuh setelah ini!!


Butuh waktu sekitar satu jam empat puluh menit untuk sampai ke Banjarmasin. Pesawat mengudara begitu lama sementara itu kami diberi makan oleh pramugari-pramugari cantik yang selalu segar dengan pulasan make up beserta sanggul yang rapih.


Hari ini pesawatnya cukup canggih karena kita bisa nonton film tepat di depan bangku yang masing-masing tersedia layar LCD sebesar kira-kira 8 inchi dengan teknologi touchscreen. Pada awalnya saya antusias karena ada sajian film Korea, banyak film dari negara tersebut yang cukup membangkitkan inspirasi, namun sayang hal itu tidak saya temukan ketika 10 menit film diputar.


Saya mengalihkan menu menjadi paparan musik. Diantara sekian banyak genre, saya memilih kings of convenience yang cukup syahdu. Lalu berganti menjadi Jason Mraz yang saya ingat dia pertama kali muncul dengan Remedy-nya saat saya masih duduk di kelas satu SMA. Wah, sudah lama, kira-kira enam sampai tujuh tahun yang lalu. Hei, ternyata saya sudah tua. Namun mengapa saya merasa seperti terus-terusan di Neverland?


Tiba-tiba musik yang saya dengarkan berhenti, pilot mengumumkan bahwa kami akan mendarat sebentar lagi. Saya selalu bergairah jika pesawat bersiap terbang ke udara atau bersiap mendarat, seperti menyambut kematian yang bisa saja datang tiba-tiba. Menerima, dengan ikhlas.


Pesawat kami mendarat dengan mulus, hingga kami tidak cacat sedikitpun. Bandara di luar kota selalu sederhana dan tidak semewah Soekarno-Hatta, saya suka. Semua orang melirik pada kami, apalagi kalau bukan rambut yang agak nyentrik ini? Kami menunggu mobil jemputan untuk langsung menuju hotel untuk menaruh semua barang-barang yang kami bawa. Ketika pintu kamar dibuka, ada bau aneh yang menguar, aneh sekali hingga beberapa dari kami sakit kepala. Saya putuskan untuk menyalakan pendingin ruangan sembari membuka jendela agar ada pertukaran udara. Semoga.


Di kota ini, satu kamar kami tidur bertiga, okelah tidak apa-apa, saya dibagian ekstra bed. Masih empuk kok walau cuma selembar. Narji cukup diam di pojok, dia selalu begitu, pasrah saja jika saya suruh tidur di lantai terlalu sempit jika kami harus berbagi ranjang.
Hari ini Noni sakit flu, ingusnya turun naik mungkin karena sistem imunnya menurun. Sementara saya rasanya menderita pusing mendadak. Mungkin karena bau cat yang lapuk atau entahlah apa yang membuat migrain saya kambuh. Beberapa lama setelah istirahat sebentar, kami naik ke lantai lima untuk gladi resik. Blocking seperti biasa. Pemandangan kebingungan dan omelan makin biasa bagi kami. Saya takut saya jadi beku hati gara-gara ini. Tidak. Jangan. Cinta membuat saya hidup, tolong jangan tinggalkan saya.


Selesai blocking dan pengulangan koreografi, kami makan malam di restoran hotel, bosan sekali sebenarnya melakukan rutinitas ini, namun berjalan-jalan keluar sendirian dikota ini pun desas-desusnya kurang nyaman dan aman.


Lonceng gereja berdentangan tiap satu jam sekali, mungkin sudah disetel otomatis untuk bergema karena ketika saya melongok gereja nampak sangat sepi. Namun saya selalu menyesali kepengecutan yang saya punya karena menahan saya untuk lompat menyebrang menuju gereja dan melihat apa yang bisa saya amati dari sana. Saya menyesali sisi saya yang seperti itu, mungkin begitu juga Narji menertawakan saya. Diam kamu Narji!


Setelah tahu pesawat baru akan membawa saya lusa, impian saya mengambang, mungkinkah saya dapat melongok hutan orang pada hutan lindung? Saya bertanya pada supir mobil yang menjemput kami, dengan kecewa saya harus meneriman kenyataan bahwa hutan karantina tersebut harus ditempuh dua jam perjalanan dari kota Banjarmasin. Sudah pasti saya tidak dapat berkunjung ke sana. Hasrat ini begitu menggebu-gebu sehingga akhirnya saya harus kecewa melihat kenyataan. Harusnya saya hidup dalam mimpi saja.


Sudahlah jangan kecewa, saya bilang pada diri saya sendiri, karena saya lahir untuk bersabar. Malam ini harusnya saya tidur dengan nyenyak, namun ternyata ada beberapa suara gaduh serta lonceng gereja secara samar-samar menganggu kenikmatan tidur. Hingga tahu-tahu hari sudah pagi. Sudah waktunya bangun. Saya mengirimkan beberapa pesan pada teman-teman saya di Jakarta, mengadu pada mereka bahwa saya harus bangun pukul empat pagi untuk melakukan make up.


”Tadi malem gue kok kayak denger suara orang lagi begituan ya...” kata teman sekamar saya.
”Wah mimpi kali lu...mimpi dan pengen, hahahaha...” begitu kata saya sambil tertawa.


Menunggu show dimulai, kami duduk di belakang panggung, saling bertukar cerita. Tersebutlah hotel ini ternyata adalah sebuah hotel short time, tempat prostitusi dilakukan. Pantas saja semenjak kemarin kenapa lelaki yang ’nongkrong’ di lobby memandang kami ini bagai mangsa. Untunglah saya mirip bencong. Ya Narji? Maka selamatlah saya dari hawa nafsu angkara murka. Eh? Belum tentukah? Betul, saya terlalu yakin.


Saya pun merasa bukan wanita yang menarik, tidak seperti Noni yang muka campuran Arabnya membuatnya menjadi sangat cantik, lalu Niken dengan kulitnya yang sangat cantik, membuatnya selalu terlihat segar. Sementara saya kurus kering kerontang. Teman sekantor saya pun bercemooh,


”Siapa yang mau dengan dia? Kurus kering dada rata.”, jika didengar secara sepintas
kata-kata ini akan berbentuk seperti pisau dan menyakitkan, membelah-belah hati orang yang ditujukan. Namun jika kamu lihat lagi, potong-potong lagi, kata tersebut berasal dari mulut orang yang patut dikasihani, karena mengira manusia hanya satu tipe, sesuai dengan pikirannya, kasihan dia sudah empat puluh tahun hidup di dunia namun tidak mengerti arti cinta, yang dia mengerti hanya nafsu. Kasihanilah dia dunia.


Show hari ini berjalan seperti biasa, setelahnya yang tidak biasa. Noni, selain sebagai model ’petite’ dia adalah seorang desainer pakaian. Setelah show berakhir, ia meminta saya menjadi model baju-baju yang sudah ia bawa. Tentu, saya dengan sukarela akan sangat senang membantunya. Wow, saya tidak menyangka (setelah melihat hasil fotonya) kulit saya kini berubah menjadi begitu eksotis. Coklat. Eksotis. Tadinya saya tidak percaya ketika hairstylist saya diatas panggung menyebut ”ini Tami, model saya yang eksotis”, ternyata dia benar.


Entah kapan itu ketika saya menjadi salah satu remaja yang juga mengidamkan kulit putih, karena seakan-akan hal itu lebih menarik dari pada kulit saya sendiri. Namun kini, saya lebih suka menjadi apa adanya. Karena lebih baik kamu dibenci dengan menjadi apa adanya dibanding kamu disukai namun itu bukan kamu. Saya membela mati-matian orang yang benci saya karena apa adanya.


Diluar saya lihat beberapa orang berbondong-bondong mengangkat spanduk meneriakkan ”Allahuakbar!” mereka berdemonstrasi dengan melakukan long march yang kebetulan melewati hotel yang saya tempati, memprotes bahwa penyerangan Israel pada kapal untuk bantuan kemanusiaan pada Palestina yang saat itu masih diberitakan dengan hangat. Mereka menuntut keadilan, bahwa Israel harus dihukum atas ulahnya ini. Berita semakin meruncing ketika ada beberapa relawan yang di duga diracuni oleh tentara Israel. Miris saya mendengarnya, ada apa dengan manusia saat ini? Lalu seperti kamu tahu, berita itu kini tenggelam dengan kasus Ariel Peter Pan beserta ke 32 video pornonya.


Hari masih panjang sebelum pesawat pagi memulangkan kami beserta semua kenangan akan Banjarmasin dan kembali ke Jakarta yang sibuk. Maka kami pun menuju Marthapura, saya ikut saja, katanya itu tempat membeli permata. Bah, permata, uang darimana? Menyusuri toko tanpa tahu apa musti saya beli, akhirnya saya mampir juga ke salah satu untuk membeli oleh-oleh untuk teman-teman yang baik, sebuah gantungan kunci mungkin? Ya itu sajalah, menipisnya kantong membuat saya harus memilah oleh-oleh.


Hari tiba-tiba saja menjadi malam setelah kami berbelanja, hujan turun rintik-rintik. Berada di tengah-tengah khatulistiwa dengan iklim hutan hujan, membuat saya memaklumi keadaan ini. Kalimantan memang masih hutan. Dan karena itulah saya terpuaskan. Lagi-lagi, kewarasan masih saja menahan saya untuk mendekati sungai serta memperhatikan kapal-kapal nelayan yang tertambat disana atau lebih jauh lagi naik ke atas kapal dan mungkin jika beruntung diantar keliling sungai ditengah kota. Kewarasan saya menahan semua itu, maka dari itu saya seringkali tidak puas terhadap diri sendiri. Mengapa saya dulu di dogma untuk mengikuti aturan sih?


Hari berangsur malam, saya harus tidur karena besok pukul lima pagi mobil kami sudah menunggu untuk mengantar semua kru ke Bandara. Haaah...selesai sudah Banjarmasin, kota sepi dengan kesempatan saya yang sedikit untuk mengenal kehidupannya. Maka itu tinggallah kenangan saya yang sedikit ini, tinggallah lonceng bunyi gereja, tinggallah hutan-hutan sepanjang perjalanan menuju Marthapura. Tinggallah dalam memori saya ini.